Dakwah Bil Kitabah

Buya HAMKA sudah wafat lebh dari 30 tahun yang lalu, tapi pesan-pesan dakwahnya masih terdengar dan terus menyebar hingga sekarang. Kiai Hasyim Asy’ari juga sudah wafat lebih dari 70 tahun yang lalu, tapi hingga kini orang masih bisa berguru kepadanya. Bahkan Syekh Nawawi juga telah wafat lebih dari 120 tahun yang lalu, tapi penjelasan- penjelasannya tentang keislaman masih bisa dipelajari hingga sekarang. Dan begitu para ulama besar lainnya yang telah mendahului kita sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, seolah mereka masih hidup hingga sekarang, lengkap dengan seruan-seruan dakwahnya. Mengapa bisa begitu? Mengapa pesan-pesan dakwahnya seperti mengabadi? Apa yang membuat zona dakwahnya demkian luas dan terus meluas? Menurut saya, adalah karena media dakwahnya bukan hanya mimbar. Pesan-pesan dakwahnya bukan hanya melalui seruan lisan (khitobah). Mereka adalah orang berilmu yang benar-benar memahami bahwa pesan dakwah harus disampaikan seluas-luasnya, menembus batasan wilayah dan juga generasi. Mereka menyadari keterbatasan pesan yang hanya disampaikan melalui lisan. Sebab itulah, mereka berkarya tulis sebagai media alternatif dakwahnya (dakwah bil kitabah). Buya HAMKA termasuk salah seorang ulama yang produktif berkarya tulis. Tercatat sekitar 115 judul dalam berbagai disiplin ilmu. Karya monumentalnya adalah Tafsir al- Azhar. Demikian juga Kiai Hasyim Asy’ari, banyak karya tulisnya yang merupakan jawaban atas berbagai problematik masyarakat. Misalnya ketika sebagian umat Islam belum paham persoalan tauhid atau akidah, maka beliau menyusun kitab tentang akidah “Al Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid”. Begitu halnya Syekh Nawawi, yang banyak menulis Kitab di bidang teologi, fikih, dan tasawuf, yang hingga kini karya-karya itu menjadi kitab kajian kaum muslimin. Seperti itu yang ditempuh sebagian besar ulama terdahulu dalam memperluas sebaran dakwahnya. Sesungguhnya, mereka para ulama besar itu, kesibukannya sudah luar biasa: mengajar murid-muridnya di pondok dan juga safari dakwahnya. Namun mereka masih menyempatkan waktu untuk berkarya tulis di sela-sela kesibukannya itu. Berkarya tulis memang seperti menanam pohon kelapa: jika bukan karena cinta dan kepedulian yang luar biasa pada nasib generasi penerusnya, hampir tidak mungkin seseorang mau melakukannya. Mudah dibayangkan bagaimana jika seandainya para pendahulu kita (ulama’/ilmuwan) tidak pernah meninggalkan karya tulis untuk kita. Maka pertanyaan yang sama juga berlaku untuk kita: bagaimana jika sekarang kita sebagai pendidik/pendakwah tidak mewariskan karya tulis terbaik yang bisa dipelajari oleh generasi penerus kita? *Ragam Karya Tulis untuk Dakwah* Karya tulis untuk dakwah bisa beragam bentuk dan jenisnya. Bisa berbentuk kitab, maqalah, atau serpihan catatan ungkapan bijak. Jenis kitab misalnya kitab tafsir, kitab syarah, kitab pedoman, kitab kompilasi, atau kitab populer tentang solusi atas problematika yang sedang dihadapi umat islam. Sebagai contoh, Buya HAMKA adalah seorang ulama yang karya tulisnya sangat beragam. Ada karya tulisnya yang merupakan penjelasan atas kandungan isi A-Quran (kitab tafsir Al-Azhar); Ada karyanya yang merupakan komentar atau penjelasan lebih lanjut atas kitab lain (Syarah); Ada karyanya yang dikemas berupa novel (salah satunya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk); Ada karyanya yang berupa kumpulan atau kompilasi (misalnya “Himpunan Khotbah-Khotbah”, “Doa-Doa Rasulullah SAW”), Ada banyak pula karya tulisnya yang dimuat dalam berbagai majalah, sebagai jawaban atau penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat muslim. Tentu saja, Buya HAMKA hanyalah salah satu dari sekian banyak ulama’ di Indonesia yang produktif berkarya tulis. Sangat banyak ulama’ lainnya, baik yang hidup sebelum dan setelahnya, baik dari dalam maupun dari luar negeri Indonesia. Pendeknya, gambaran ini hanya untuk menunjukkan betapa mereka para ulama’ itu memiliki cinta yang luar biasa pada generasi penerusnya. *Sekarang Giliran Kita* Sekarang adalah zamannya kita. Para pendidik atau pendakwah pada zaman ini bukan hanya harus mampu mewarisi karya pendahulu, tapi juga harus mampu mewariskan karya untuk anak-cucu. Kita harus mulai berkarya tulis. Selamat berkarya. Salam sukses sejati! ☺️

Budi Manfaat

11/6/20231 min read

Konten postingan